Kamis, 17 Februari 2011

BATIK PERANAKAN

BATIK PERANAKAN

Batik peranakan adalah sub genre batik pesisir. Batik peranakan banyak dihasilkan oleh kaum peranakan baik yang berasal dari keturunan Cina maupun Belanda yang bermukim di sepanjang pesisir pantai utara (pantura) Jawa.

Setelah Indonesia merdeka, batik peranakan hanya dihasilkan oleh keturunan Cina. Daerah penghasil batik peranakan antara lain Jakarta (sebelum direlokasi berada di sekitar Karet dan Palmerah), Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Demak, Lasem, Tuban dan Gresik. Batik peranakan diperkirakan mulai tumbuh setelah perang Jawa usai (sekitar 1830an) dan mengalami perkembangan pesat pada awal abad 20.

Beberapa maestro batik Indo Belanda yang terkenal antara lain: Lien Metzelaar, Caroline Josephine von Franquemont serta van Zuylen bersaudara (Eliza dan Carolina). Maestro batik Cina Peranakan yang menonjol antara lain: The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Hok Sien, Liem Boen Tjoe, Liem Boen Gan, dan Oey Soe Tjoen.


Detail dari salah satu karya batik tulis Oey Soe Tjoen.

Ciri khas batik peranakan adalah penggunaan motif mitologi CIna seperti kilin, naga, burung phoenix (hong), dewa-dewa, api, mega, bunga dan sulur2an dengan stilisasi yang khas. Motif khas batik peranakan antara lain, buketan, jlamprang, dan lokcan. Interaksi kaum Cina peranakan dengan batik tradisional melahirkan batik tiga negeri, dua negeri dan sebagainya. Pada masa pendudukan Jepang juga lahir motif Jawa Hokokai.

Berbeda dengan batik Jawa yang banyak memakai warna berat karena pemakaian pewarna alami (soga, genes, kayu tiger, kayu tingi, akar pace dan sebagainya), batik peranakan banyak menggunakan warna primer (merah, biru, hijau dan sebagainya) dari pewarna kimia buatan. Batik peranakan juga memelopori pewarnaan primer dengan gradasi. Teknik penggunaan warna gradasi dipelopori oleh Oey Soe Tjoen.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar